Sabtu, 21 Mei 2016

Kerajaan Islam di Papua

KERAJAAN ISLAM DI PAPUA


KERAJAAN ISLAM DI PAPUA
1. Kerajaan WaƬgeo
2. Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)
3. Kerajaan Salawati (marga Arfan)
4. Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)
5. Kerajaan Fatagar (marga Uswanas)
6. Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
7. Kerajaan Atiati (marga Kerewaindzai)
8. Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)
9. Kerajaan Patipi
10. Kerajaan Arguni
11. Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
12. Kerajaan Kowlai/Kerajaan Namatota
13. Kerajaan Aiduma
14. Kerajaan Kaimana.
 
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI TANAH PAPUA PADA ABAD 15 M
Kedatangan pengaruh Islam ke Pulau Papua, yaitu ke daerah Fakfak Papua Barat tidak terpisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat pelayaran internasional di Malaka, Jawa dan Maluku. Sebelum membahas proses masuknya Islam di daerah ini terlebih dahulu akan dibahas proses masuknya agama Islam di Maluku, Ternate, Tidore serta pulau Banda dan Seram karena dari sini Islam memasuki kepulauan Raja Ampat di Sorong, dan Semenajung Onin di Kabupaten Fakfak (Onim, 2006:75).
Sejarah masuknya Islam di wilayah Maluku dan Papua dapat ditelusuri dari berbagai sumber baik sumber lisan dari masyarakat pribumi maupun sumber tertulis. Menurut tradisi lisan setempat, pada abad kedua Hijriah atau abad kedelapan Masehi, telah tiba di kepulauan Maluku (Utara) empat orang Syekh dari Irak. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, dimana golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa, baik Bani Umayah maupun golongan Bani Abasyiah. Keempat orang asing membawa faham Syiah. Mereka adalah Syekh Mansyur, Syekh Yakub, Syekh Amin dan Syekh Umar. Syekh Umar menyiarkan agama Islam di Ternate dan Halmahera muka. Syekh Yakub menyiarkan agama Islam di Tidore dan Makian. Ia meninggal dan dikuburkan di puncak Kie Besi, Makian. Kedua Syekh yang lain, Syekh Amin dan Umar, menyiarkan agama Islam di Halmahera belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Keduanya dikabarkan kembali ke Irak.
Sedangkan menurut sumber lain Islam masuk ke Ternate di sekitar tahun jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit 1478, jadi sekitar akhir abad ke-15. Sumber lain berdasarkan catatan Antonio Galvao dan Tome Pires bahwa Islam masuk ke Ternate pada tahun 1460-1465. Dari beberapa sumber tadi dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Islam masuk ke Maluku pada abad ke-15 selanjutnya masuk ke Papua pada abad ke-16, sebagain ahli memprediksikan bahwa telah masuk sejak abad ke-15 Sebagaimana disebutkan situs Wikipedia.

Kerajaan kerajaan Islam di Nusa Tenggara

KERAJAAN ISLAM DI NUSA TENGGARA



Perkembangan Kerajaan Islam di Nusa Tenggara

Kehadiran  Islam ke daerah  Nusa Tenggara antara  lain ke Lombok diperkirakan  sejak abad  ke-16 yang diperkenalkan Sunan Perapen, putra  Sunan  Giri.
Islam masuk  ke Sumbawa  kemungkinan datang lewat Sulawesi, melalui dakwah  para mubalig dari Makassar antara 1540-1550.  Kemudian   berkembang  pula   kerajaan   Islam  salah satunya adalah Kerajaan Selaparang  di Lombok.

Kerajaan Lombok dan Sumbawa

Selaparang  merupakan pusat kerajaan Islam di Lombok di bawah  pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa  itulah Selaparang  mengalami  zaman keemasan dan memegang hegemoni di seluruh Lombok.
Dari Lombok, Islam disebarkan ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan, dan tempat-tempat lainnya. Konon Sunan  Perapen  meneruskan dakwahnya dari Lombok  menuju   Sumbawa.   Hubungan dengan  beberapa negeri dikembangkan terutama dengan Demak.
Kerajaan-kerajaan  di Sumbawa Barat dapat  dimasukkan kepada  kekuasaan Kerajaan  Gowa  pada  1618.  Bima ditaklukkan pada 1633 dan kemudian  Selaparang pada 1640. Pada  abad  ke-17  seluruh  Kerajaan  Islam Lombok berada  di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa.
Hubungan antara Kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan cara perkawinan seperti Pemban Selaparang,  Pemban Pejanggik,  dan Pemban Parwa.   Kerajaan-kerajaan    di   Nusa   Tenggara   mengalami tekanan dari VOC setelah terjadinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667.
Oleh karena  itu pusat  Kerajaan Lombok dipindahkan  ke Sumbawa  pada  1673  dengan tujuan  untuk dapat  mempertahankan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di  pulau  tersebut  dengan  dukungan pengaruh  kekuasaan Gowa.  Sumbawa  dipandang lebih  strategis  daripada  pusat pemerintahan di Selaparang  mengingat ancaman dan serangan terhadap VOC terus-menerus terjadi.
Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau Lombok. Pusat kerajaan ini pada masa lampau berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan Seleparang), yang saat ini kurang lebih lebih berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.
Sejujurnya minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan Selaparang, terutama sekali tentang awal mula berdirinya. Namun, tentu saja terdapat beberapa sumber objektif yang cukup dapat dipercaya. Salah satunya adalah kisah yang tercatat di dalam daun Lontar yang menyebutkan bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah masuknya atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.
Selaparang merupakan pusat Kerajaan Islam di Lombok. Selaparang di bawah Pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa itu Selaparang mengalami zaman keemasan, memegang, dan lain-lain. Konon Sunan Perapen meneruskan dakwahnya dari lombok terus ke Sumbawa. Selaparang juga mengembangkan hubungan antara Kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan cara pernikahan seperti Pemban Selaparang, Pemban Pejanggik, dan Pemban Parwa.
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
Setelah terjadinya Perjanjian Bongayana pada tanggal 18 November 1667, kerajaan-kerajaan yang ada di Nusa Tenggara mengalami tekanan dari VOC. Dengan keadaan tersebut, maka pusat Kerajaan Lombok dipindahkan ke Sumbawa pada tahun 1673. Tujuan pemindahan tersebut adalah untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di pulau tersebut dengan dukungan pengaruh kekuasaan Gowa. Alasan Kerajaan Lombok dipindahkan ke Sumbawa adalah karena Sumbawa dipandang lebih strategis dari pada pusat pemerintahan di Selaparang. Disamping itu juga mengingat adanya ancaman dan serangan dari VOC yang terjadi terus menerus.

Kerajaan Islam di kepulauan Maluku

KERAJAAN ISLAM DI MALUKU


Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan di Nusantara. Mengingat keberadaan daerah Maluku ini maka tidak mengherankan jika sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 kawasan ini menjadi wilayah perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda. Kepulauan Maluku sangat penting peranannya karena Maluku adalah penghasil rempah-rempah terbesar pada waktu itu sehingga bayak negara yang berdatangan ke Maluku. Sejak awal diketahui bahwa didaerah ini terdapat dua kerajaan besar bercorak Islam, yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore.
Tanda-tanda awal kehadiran Islam ke daerah Maluku dapat diketahui dari sumber-sumber berupa naskah-naskah kuno dalam bentuk hikayat seperti Hikayat Hitu, Hikayat Bacan,dan hikayat-hikayat setempat lainnya. Sudah tentu sumber berita asing seperti Cina, Portugis, dan lainnya amat menunjang cerita sejarah daerah Maluku itu.
Kerajaan Ternate
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
Sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15. Raja Ternate yang pertama-tama menganut agama Islam ialah Sultan Marhum (1465 - 1486). Sejak itu Ternate menjadi pusat Islam di Maluku. Pada akhir abad-16 agama Islam tersiar hingga Mindanao (Philipina Selatan), karena Mindanao menjadi daerah kekuasaan Ternate.
 Sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15. Raja Ternate yang pertama-tama menganut agama Islam ialah Sultan Marhum (1465 - 1486). Sejak itu Ternate menjadi pusat Islam di Maluku. Pada akhir abad-16 agama Islam tersiar hingga Mindanao (Philipina Selatan), karena Mindanao menjadi daerah kekuasaan Ternate.

Kerajaan Islam di Sulawesi

KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI


Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi - Di daerah Sulawesi juga tumbuh kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa Tallo, Bone, Wajo dan Sopeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa Tallo.
Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa menurut Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa Tallo Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605, maka Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk Islam dan tunduk kepada Kerajaan Gowa Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada kerajaan Gowa Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611. Di daerah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Datto Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu),

Kerajaan Islam di Kalimantan

KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN


Ketika agama Islam datang ke wilayah Nusantara, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, sudah ada di beberapa wilayah kepulauan Nusantara dan juga telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha.  Islam kemudian menyebar ke seluruh Nusantara. Selain Sumatra dan Jawa, ternyata di Kalimantan juga terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Beberapa Kerajaan Islam yang ada di Kalimantan antara Kesultanan Pasir (1516), Kesultanan Banjar (1526-1905), Kesultanan Kotawaringin, Kerajaan Pagatan (1750), Kesultanan Sambas (1671), Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Berau (1400), Kesultanan Sambaliung (1810), Kesultanan Gunung Tabur (1820), Kesultanan Pontianak (1771), Kesultanan Tidung, dan Kesultanan Bulungan (1731). Berikut ini beberapa kerajaan Islam yang berada di pulau Kalimantan.
a. Kerajaan Pontianak
Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat sebelum Kerajaan Pontianak antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Pada abad ke-17, kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC.
Kesultanan Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada 1771 (1185 H). Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Berikut ini nama-nama Sultan Pontianak.
Menurut sejarahnya, Al-Habib Husein berasal dari Negeri Arab yang datang di Kerajaan Matan (di daerah Ketapang) untuk menyebarkan Islam. Kedatangan Al Habib Hussein di Kerajaan Matan sangat menarik perhatian raja, karena tutur bahasanya yang halus dan tingkah lakunya yang sopan, maka kedatangannya diterima baik oleh raja dan rakyat Matan (Tanjungpura). Sejak saat itu Al Habib Hussein diangkat menjadi penasehat raja dan dinikahkan dengan Nyai Tua salah satu putranya adalah Syarif Abdurrahman dilahirkan pada tahun 1742. Karena tidak sependapat tentang hukuman mati di kerajaan tersebut Al Habib Husein meninggalkan Kota Matan menuju Kerajaan Mempawah.

Satu tahun setelah Al Habib Hussein wafat, Syarif Abdurrahman mengajak keluarganya untuk membuka lmbaran baru dengan meninggalkan Kerajaan Mempawah. Mereka mendirikan Kerajaan baru yang kemudian kerajaannya dinamakan seperti nama hantu yang menganggu awak kapalnya, yaitu Pontianak. Setelah menjadi raja, beliau memakai gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadri bin Hussein Alqadri.

  1. Sultan Syarif Abdurrahman Alqadri bin Al Habib Hussein Alqadri, memerintah dari tahun 1771 sampai 1808.
  2. Sultan Syarif Kasim Alqadri Bin Syarif Abdurrahman Alqadri, memerintah dari tahun 1808 sampai tahun 1819.
  3. Sultan Syarif Usman Alqadri bin Syarif Abdurrahman Alqadri memerintah dari tahun 1819 sampai tahun 1855.
  4. Sultan Syarif Hamid Alqadri bin Syarif Usman Alqadri memerintah dari tahun 1855 sampai tahun 1872.
  5. Sultan Syarif Yusuf Alqadri bin Syarif Hamid Alqadri memerintah dari tahun 1872 sampai tahun 1895.
  6. Sultan Syarif Muhammad Alqadri bin Syarif Yusuf Alqadri memerintah dari tahun 1895 sampai tahun 1944.
  7. Sultan Syarif Thaha Alqadri bin Syarif Usman Alqadri hanya memerintah selama 1 tahun yaitu sampai tahun 1945.
  8. Sultan Syarif Hamid II bin Sultan Syarif Muhammad Alqadri memerintah dari tahun 1945 sampai tahun 1950.

Kerajaan islam di banten

KERAJAAN ISLAM KESULTANAN BANTEN


Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]

Puncak kejayaan

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[10]
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[11] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[7] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[12] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

kerajaan Mataram Islam

KERAJAAN MATARAM ISLAM

Sejarah Kerajaan Mataram Islam - Kesultanan Mataram ( Kerajaan mataram yang bercorak islam ) tidak ada hubungannya sama sekali dengan kerajaan mataram hindu. Kebetulan nama yang digunakan sama. Pemindahan pusat pemerintahan dari pajang ke mataram pada tahun 1586 M di lakukan oleh Sutowijaya menandai berdirinya kesultanan mataram. Pusat pemerintahannya berada di kota gede yogyakarta. Kesultanan Mataram merupakan kerajaan Islam yang berada di Pulau Jawa yang berdiri pada tahun 1586 M sampai tahun 1755 M. Kerajaan ini di pimpin oleh keturunan-keturunan dari Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang dipercaya masih mempunyai keturunan dari penguasa Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini berawal dari sebuah Kadipaten di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang, yang berada di Bumi Mentaok yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh Raja Pajang sebagai hadiah atas jasanya mengalahkan arya panangsang. Raja pertama yang memimpin adalah Sutawijaya ( ia mempunyai gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama ), yang merupakan anak dari Ki Ageng Pemanahan.

Berdirinya Kerajaan Mataram islam

Kerajaan ini berawal dari sebuah Kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang, yang berada di Bumi Mentaok yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh Raja Pajang Jaka Tingkir sebagai hadiah atas jasanya mengalahkan arya panangsang dari jipang. Ki Ageng Pemanahan sebagai bupati di Mataram ia mempunyai seorang anak yang bernama Sutawijaya. Sutawijaya sendiri merupakan yang membunuh arya panangsang sangat berbakat di bidang militer. Ia kemudian diangkat menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya ( Jaka Tingkir ) dan ia dijadikan saudara dengan putra mahkota yaitu Pangeran Benawa. Pada tahun 1575 M, Ki Ageng Pemanahan wafat. Oleh Raja Pajang kemudian Sutawijaya di angkat sebagai Bupati Mataram menggantikan ayahnya. Dibawah kepemimpinannya mataram semakin pesat berkembang.

Di tahun 1582, Sultan Hadiwijaya atau Jaka tingkir Raja Pajang meninggal dunia. Arya Panggiri yang saat itu menjadi adipati di Demak merebut Pajang. Putra Sultan Hadiwijaya yang bernama Pangeran Benawa dapat ia singkirkan.  Kemudian Arya Panggiri naik takhta menjadi Raja Pajang untuk melanjutkan darah dari keturunan Demak. Dalam masa kepemimpinannya Arya Panggiri kurang disukai oleh rakyat Pajang. Melihat hal tersebut, pangeran Benawa berniat untuk merebut kembali kekuasaannya. Dengan bantuan dari bupati mataram yaitu Sutawijaya, Arya Panggiri bisa dikalahkan. Kemudian di tahun 1586 M, Pajang diambil alih oleh Sutawijaya karena tidak ada putra mahkota yang menggantikan kepemimpinan pangeran benawa dan pusat pemerintahan pajang kemudian di pindahkan ke Mataram. Pemindahan pusat pemerintahan dari pajang ke mataram sekaligus menandai berdirinya Kesultanan Mataram.