KERAJAAN ISLAM KESULTANAN BANTEN
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]
Puncak kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[10]Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[11] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[7] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[12] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Kehidupan Politik
Sultan
pertama Kerajaan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah
tahun 1522-1570. Ia adalah putra Fatahillah, seorang panglima tentara
Demak yang pernah diutus oleh Sultan Trenggana menguasai bandarbandar di
Jawa Barat. Pada waktu Kerajaan Demak berkuasa, daerah Banten merupakan
bagian dari Kerajaan Demak. Namun setelah Kerajaan Demak mengalami
kemunduran, Banten akhirnya melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan
Demak.
Jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat para pedagang muslim
memindahkan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat
perdagangan. Hasanuddin memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil
lada, Lampung di Sumatra Selatan yang sudah sejak lama mempunyai
hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia telah meletakkan
dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Pada tahun
1570, Sultan Hasanuddin wafat.
Penguasa
Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin.
Di bawah kekuasaannya Kerajaan Banten pada tahun 1579 berhasil
menaklukkan dan menguasai Kerajaan Pajajaran (Hindu). Akibatnya
pendukung setia Kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yaitu daerah
Banten Selatan, mereka dikenal dengan Suku Badui. Setelah Pajajaran
ditaklukkan, konon kalangan elite Sunda memeluk agama Islam.
Maulana
Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir
kekuasaannya, Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang. Dalam
usaha menaklukkan Palembang, Maulana Muhammad tewas dan selanjutnya
putra mahkotanya yang bernama Pangeran Ratu naik takhta. Ia bergelar
Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir. Kerajaan Banten mencapai puncak
kejayaan pada masa putra Pangeran Ratu yang bernama Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan Belanda.Usaha untuk
mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta
menguasai pelabuhan Jayakarta yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
mengalami kegagalan. Setelah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa,
Banten mulai dikuasai oleh Belanda di bawah pemerintahan Sultan Haji.
C. Kehidupan Sosial-budaya
Sejak Banten
di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527, kehidupan sosial
masyarakat secara berangsur- angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran
Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam
makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung kerajaan Pajajaran menyingkir
ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan, mereka dikenal sebagai
Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya
Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan
menolak pengaruh Islam
Kehidupan
sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik,
karena sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun
setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan
Belanda dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat berubah merosot
tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan Masjid Agung
Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di
samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel,
orang Belanda, pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam.
Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar