Sabtu, 21 Mei 2016

Kerajaan islam Kesultanan Aceh Darussalam

Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam

Sejarah Awal Mula
   
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).

Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.

Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.

Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a, 1981:157).


Silsilah Raja

Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
  1. Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
  2. Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
  3. Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
  4. Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
  5. Sulthan Muda (1575)
  6. Sulthan Sri Alam (1575-1576)
  7. Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
  8. Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
  9. Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
  10. Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
  11. Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
  12. Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
  13. Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
  14. Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
  15. Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
  16. Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
  17. Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
  18. Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
  19. Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
  20. Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
  21. Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
  22. Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
  23. Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
  24. Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
  25. Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
  26. Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
  27. Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
  28. Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
  29. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
  30. Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
  31. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
  32. Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
  33. Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
  34. Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
  35. Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
  36. Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)



Sistem Pemerintahan

Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1577-1589), Kesultanan Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Qanun Syarak Kesultanan Aceh Darussalam. Undang-undang ini berbasis pada Al-Quran dan Hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh Darussalam telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Pada era kepemimpinan Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604), Kesultanan Aceh Darussalam memiliki susunan pemerintahan yang sudah cukup mapan. Kesultanan diperintah oleh Sultan dengan bantuan lima orang besar (tokoh-tokoh yang dihormarti), bendahara, empat syahbandar. Pada saat itu, angkatan perang yang dimiliki Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat, yaitu mempunyai 100 kapal perang di mana setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400 orang prajurit. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak sekali meriam-meriam besar yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperkuat juga dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh para hulubalang (Said a, 1981:218-219).
Selanjutnya, pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) merupakan masa kebanggaan dan kemegahan, tidak hanya dalam hal pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga di bidang penertiban susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan penertiban perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat (sipil), kedudukan rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama anggota pemerintahan, dan sebagainya. Sultan Iskandar Muda telah merumuskan perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Makuta Alam yang disadur dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan setelahnya.
Penertiban hukum yang dibangun Sultan Iskandar Muda memperluas kebesarannya sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan diteladani, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan demikian, Adat Makuta Alam yang dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda adalah adat yang bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan Aceh Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum adat.
Dalam makalah bertajuk “Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda” (1961) yang ditulis oleh A. Hasjmy disebutkan, susunan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda menempatkan Sultan sebagai penguasa tertinggi pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki hak-hak istimewa, antara lain:
  • Pembebasan orang dari segala macam hukuman. 
  • Membuat mata uang. 
  • Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau “Yang Berdaulat”. 
  • Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan perang.

Kondisi Sosial Eknomi

Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu, dan tahil (Said a, 1981:219).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar