KERAJAAN ISLAM DI SUMATRA SELATAN
Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad
ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul
komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada akhir abad ke-16 sudah
merupakan daerah kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di
bagian selatan “Pulau Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat
perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad
kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak
pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah
asalnya.
Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan
Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti diberitakan Tome
Pires (1512-1515). Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang. Komoditi
yang diperdagangkan adalah beras dan bahan makanan, katun, rotan, lilin,
madu, anggur, emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya.
Meskipun kedudukan Palembang sebagai
pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550, namun nama tokoh yang
tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan
Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo
Abdurrahman/ Kiai Mas Endi sejak 1659 sampai 1706. Palembang
berturut-turut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan yang
terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).
Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610. Pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).
Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya. Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badar II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe).
Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melakukan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan kekuasaan daerah Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.
Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610. Pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).
Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya. Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badar II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe).
Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melakukan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan kekuasaan daerah Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.
Daftar Sultan Palembang :
- Sri Susuhunan Abdurrahman (1659-1706)
- Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757)
- Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1776)
- Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803)
- Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1812, 1813, 1818-1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin II (1812-1813, 1813-1818)
- Sultan Ahmad Najamuddin III (1821-1823)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar